Selasa, 02 November 2010

Selasa, 02/11/2010 17:00 WIB Mitos Merapi Dimunculkan untuk Mencari Keselamatan foto Nurvita Indarini - detikNews foto Wedhus Gembel Merapi Kembali Turun Jakarta - Mitos hampir selalu mewarnai kehidupan sebagian masyarakat. Terkait Gunung Merapi, ada banyak mitos yang lahir. Mitos-mitos yang sengaja dimunculkan untuk mencari keselamatan. "Mitos beragam dan berkembang. Setiap ada letusan lahir mitos. Ada yang sengaja memunculkan mitos untuk mencari keselamatan supaya selamat dari amukan lahar," kata sastrawan Jawa modern Suwardi Endraswara, dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (2/11/2010). Biasanya tokoh yang mempelajari kejawen yang memunculkan mitos baru. Suwardi mencontohkan, ada orang yang tinggal di lereng Merapi memiliki cemeti yang dia percaya bila dilecutkan ke tanah, maka rumahnya akan aman dari dampak letusan Gunung Merapi. "Itu keyakinan. Mungkin 1-2 kali kebetulan cocok. Setiap kelompok punya mitos yang berbeda dan beragam," sambung Suwardi. Menurutnya, ada beberapa warga di lereng Merapi yang owel atau tidak rela meninggalkan rumahnya. Sebab daerah itu subur sehingga merasa rugi bila meninggalkan daerahnya untuk sementara waktu atau dalam waktu yang permanen. Karena itulah mereka bertahan hidup dengan membangun mitos yang sekiranya bisa mewakili dunia batinnya untuk menjawab kegelisahannya. Menurut Suwardi, mitos akan selalu ada dalam kehidupan masyarakat karena merupakan bagian dari budaya. Mitos bukan hanya milik masyarakat tradisional saja karena masyarakat modern pun melahirkan mitos dalam hidupnya. Mitos menjadi akrab dalam kehidupan masyarakat karena melalui mitos lahir harapan. "Yang pertama ada keyakinan. Lalu yang kedua dengan membaca alam. Misalnya saja waktu ada angin ribut di Yogya (akhir September) pohon beringin di sebelah timur Keraton sempal (patah)," tutur Suwardi. Sebagian masyarakat lantas mengait-ngaitkan dengan pertanyaan 'akan ada apa ini'. Lalu muncullah seperti tebak-tebakan di tengah masyarakat, apakah Yogya akan dilanda gempa lagi atau akan ada gunung meletus. "Lalu kalau sampai rumah keraton mosak-masik (berantakan) juga dikaitkan pasti akan terjadi sesuatu. Ada lagi, ketika ada yang melihat cacing tanah muncul di tembok rumah penduduk sekitar Merapi, lalu ditafsirkan ada bahaya mengancam," imbuh staf pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta ini. Mitos pun menjadi semacam ilmu titen atau niteni (mempelajari) tanda alam. Mitos tidak hanya cerita tapi juga imajinasi. Secara simbolik dimunculkan untuk mewakili kegelisahan batin. Orang Jawa sendiri punya beragam mitos, misalnya mitos larangan, mitos tentang dewa-dewa, mitos ajisaka, mitos semar dan lainnya. "Ini memang untuk golek selamet atau melindungi diri, untuk ngerem-ngeremi awake dewe (menenangkan dirinya). Kalau mereka memberi sesaji kepada Gunung Merapi, itu juga sebagai wujud terimakasih karena mereka dibolehkan mengambil pasir dan kerikil dari Merapi," jelas Suwardi. Menurut antropolog dari UGM, Laksono, mitos adalah cerita yang seolah-olah benar namun belum tentu benar. Disadari atau tidak, masyarakat mana pun kerap kali menjadi produsen dan konsumen mitos. "Masyarakat di sana tidak hanya bersandar pada hal-hal yang manusiawi, misalnya saja Mbah Maridjan yang meninggal dengan posisi sujud. Jadi sebaiknya bersikap lebih inklusif jangan selalu administratif kepada mereka saat meminta mereka untuk turun," ucapnya. Di Gunung Merapi, banyak mitos yang dilahirkan warga sekitar. Misalnya saja, mitos Kiai Sapu Jagad, mitos Mbah Petruk, dan sebagainya. (vit/nrl) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Selasa, 02/11/2010 17:00 WIB
Mitos Merapi Dimunculkan untuk Mencari Keselamatan  foto
Nurvita Indarini - detikNews





Jakarta - Mitos hampir selalu mewarnai kehidupan sebagian masyarakat. Terkait Gunung Merapi, ada banyak mitos yang lahir. Mitos-mitos yang sengaja dimunculkan untuk mencari keselamatan.

"Mitos beragam dan berkembang. Setiap ada letusan lahir mitos. Ada yang sengaja memunculkan mitos untuk mencari keselamatan supaya selamat dari amukan lahar," kata sastrawan Jawa modern Suwardi Endraswara, dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (2/11/2010).

Biasanya tokoh yang mempelajari kejawen yang memunculkan mitos baru. Suwardi mencontohkan, ada orang yang tinggal di lereng Merapi memiliki cemeti yang dia percaya bila dilecutkan ke tanah, maka rumahnya akan aman dari dampak letusan Gunung Merapi.

"Itu keyakinan. Mungkin 1-2 kali kebetulan cocok. Setiap kelompok punya mitos yang berbeda dan beragam," sambung Suwardi.

Menurutnya, ada beberapa warga di lereng Merapi yang owel atau tidak rela meninggalkan rumahnya. Sebab daerah itu subur sehingga merasa rugi bila meninggalkan daerahnya untuk sementara waktu atau dalam waktu yang permanen. Karena itulah mereka bertahan hidup dengan membangun mitos yang sekiranya bisa mewakili dunia batinnya untuk menjawab kegelisahannya.

Menurut Suwardi, mitos akan selalu ada dalam kehidupan masyarakat karena merupakan bagian dari budaya. Mitos bukan hanya milik masyarakat tradisional saja karena masyarakat modern pun melahirkan mitos dalam hidupnya. Mitos menjadi akrab dalam kehidupan masyarakat karena melalui mitos lahir harapan.

"Yang pertama ada keyakinan. Lalu yang kedua dengan membaca alam. Misalnya saja waktu ada angin ribut di Yogya (akhir September) pohon beringin di sebelah timur Keraton sempal (patah)," tutur Suwardi.

Sebagian masyarakat lantas mengait-ngaitkan dengan pertanyaan 'akan ada apa ini'. Lalu muncullah seperti tebak-tebakan di tengah masyarakat, apakah Yogya akan dilanda gempa lagi atau akan ada gunung meletus.

"Lalu kalau sampai rumah keraton mosak-masik (berantakan) juga dikaitkan pasti akan terjadi sesuatu. Ada lagi, ketika ada yang melihat cacing tanah muncul di tembok rumah penduduk sekitar Merapi, lalu ditafsirkan ada bahaya mengancam," imbuh staf pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta ini.

Mitos pun menjadi semacam ilmu titen atau niteni (mempelajari) tanda alam. Mitos tidak hanya cerita tapi juga imajinasi. Secara simbolik dimunculkan untuk mewakili kegelisahan batin. Orang Jawa sendiri punya beragam mitos, misalnya mitos larangan, mitos tentang dewa-dewa, mitos ajisaka, mitos semar dan lainnya.

"Ini memang untuk golek selamet atau melindungi diri, untuk ngerem-ngeremi awake dewe (menenangkan dirinya). Kalau mereka memberi sesaji kepada Gunung Merapi, itu juga sebagai wujud terimakasih karena mereka dibolehkan mengambil pasir dan kerikil dari Merapi," jelas Suwardi.

Menurut antropolog dari UGM, Laksono, mitos adalah cerita yang seolah-olah benar namun belum tentu benar. Disadari atau tidak, masyarakat mana pun kerap kali menjadi produsen dan konsumen mitos.

"Masyarakat di sana tidak hanya bersandar pada hal-hal yang manusiawi, misalnya saja Mbah Maridjan yang meninggal dengan posisi sujud. Jadi sebaiknya bersikap lebih inklusif jangan selalu administratif kepada mereka saat meminta mereka untuk turun," ucapnya.

Di Gunung Merapi, banyak mitos yang dilahirkan warga sekitar. Misalnya saja, mitos Kiai Sapu Jagad, mitos Mbah Petruk, dan sebagainya. (vit/nrl)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar